Patah Hati Terhebat



Wanita itu masih sesenggukan disebalahku. Sudah satu jam, dan air matanya tak kunjung berhenti mengalir.

“kau tak lelah menangis?” ucapku.
Dia hanya diam. Aku-pun mengalihkan pandangan.

“kau tahu, di luar sana, masih banyak manusia yang sama terlukanya sepertimu.” Dia menoleh.
“bahkan, banyak dari mereka yang lebih terluka dibanding  kau yang menangis sesenggukan hanya karena laki-laki sialan itu memilih wanita lain.” Ucapku sinis.

“tapi, hatiku tetap saja terluka. Kau tidak tahu rasanya!” nadanya sedikit meninggi.

Ku sunggingkan sebelah bibirku “kau bahkan tidak tahu luka seperti apa yang pernah menganga lebar dihatiku.” Dia menatapku heran.

“lukamu itu bisa sembuh, setelah satu dua bulan kau akan mulai terbiasa. Paling lama setahun dua tahun, atau setelah kau menemukan penggantinya, lukamu akan lekas membaik dan kau akan menganggapnya angin lalu.”

“kau bisa berkata seperti itu karena kau tidak merasakannya!” Dia memarahiku.

“hey, justru aku berbicara seperti itu karena aku sudah pernah merasakannya.” Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“patah hati karena dikhianati seorang pria bukan apa-apa bagiku. Hatiku cukup kuat untuk tak terjatuh.”

“lalu?” dia bertanya.

Aku menundukan kepala, pikiranku sudah mulai menerawang. Mataku tak ingin ku biarkan berkaca-kaca kali ini.

“kau pernah tidak, pulang ke rumah niat ingin bertemu kedua orang tuamu, tapi yang kau temukan hanya salah satunya, entah itu ibumu saja atau hanya ayahmu saja?”
Dia menggeleng.

“itu patah hati terhebatku.” Aku mengela nafas panjang.

“aku selalu pulang ke rumah membawa rindu, berharap bisa meleburnya ketika bertemu tatap mereka. Tapi yang selalu ku dapat hanya sepasang mata. Sepasang yang lainnya terlalu jauh, hingga hanya bisa ku lebur dalam dekap hangat doa.”

Pertahananku roboh, dan aku tak bisa untuk tak membiarkan mataku berkaca-kaca.

“kamu beruntung.” Aku menatapnya lekat “patah hatimu bisa sembuh, tapi patah hatiku tidak. Patah hatimu akan berlalu, tapi patah hatiku tidak akan kemana-mana. Dia akan tetap membekas entah untuk berapa tahun ke depan atau sampai aku mati”
Dia terdiam, aku juga.

“lukamu juga bisa sembuh.” Dia bersuara. Aku menatapnya sambil mengangkat sebelah alisku.

“jika kau ikhlas” terusnya.

Aku tersenyum “kalau begitu, kau juga harus demikian. ikhlas”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkat Kata, dari yang Merindukanmu

Sebuah Jawaban

Suatu Hari di 2020