Finally, you.
Aku
memperhatikan mukanya yang pucat karena guyuran air hujan malam ini. Bibirnya
gemetar karena kedinginan. Tubuhnya terbungkus handuk yang ku bawakan, dan
kedua tangannya menggenggam segelas cokelat panas yang baru saja ku buatkan.
Tatapannya kosong, dan entah mengapa aku selalu sedih jika melihatnya seperti
itu. Ia berlarian menuju rumahku ditengah derasnya guyuran hujan. Seperti
biasa, ia lari padaku saat hatinya terluka. Saat ia ingin didengar, saat ia
butuh menangis tanpa diketahui orang lain selain aku.
“kamu kenapa?”
tanyaku padanya yang masih saja menatap lurus dengan tatapan kosong. Aku duduk
disampingnya, menatap wajahnya. Sungguh, rasanya ingin sekali saat itu aku menyentuh
wajahnya.
“aku gak
apa-apa kok rin.” Ia menatapku sebentar, lalu kemudian memalingkannya lagi. Ia
menghela nafas panjang. Dari bibirnya tersungging senyuman yang entah harus ku
artikan apa. Tanganku kuberanikan memegang punggungnya, padahal pada saat itu
yang aku inginkan bukan hanya memegang punggungnya, tapi juga memeluknya. Aku
ingin menghapus kesedihannya dan mengatakan padanya bahwa ia tak sendirian. Aku
tahu, mungkin saat ini Affan belum mau
bercerita tentang apa masalahnya. Saat-saat seperti ini, yang dia
butuhkan hanya teman. Agar ia tak merasa kesepian.
“ya sudah kalau
kamu belum mau cerita. Mungkin kamu...”
“Arin...”
ujarnya memotong pembicaraanku sebelum sempat aku menyelesaikannya.
“ya fan?”
Aku menatap
wajah affan lekat. Ia menatapku. Matanya tepat melihat lurus ke mataku. Affan
tak pernah menatapku dengan pandangan seserius ini. Dan entah mengapa, saat ia
mentapku seperti itu, perasaanku semakin tak bisa dikendalikan.
“selama ini
aku mencari-cari dia yang berhak kucintai. Aku mencari sosok yang bisa mengisi
kekosongan yang tidak pernah ku mengerti untuk siapa” Affan mengentikan
kata-katanya. Aku hanya diam dan tak bisa berkata apa-apa.
Ia menghela
nafas panjang “Aku selalu gagal dalam hal cinta dan akhirnya aku terluka lagi.
Dan kamu Rin... kamu ada disana bahkan saat aku tak menyadarimu”
“affan, tapi kan aku.....”
“Arin..” ia
memotong pembicaraanku.
“kamu tak
perlu berbohong untuk menutupi perasaanmu lagi, aku menyadarinya sekarang.
Dan....” ia terdiam sejenak. “aku menyukaimu. Bukan sebagai teman, tapi
selayaknya seorang pria yang mencintai seorang wanita." arin hanya terdiam memandang Affan.
"Dan sekarang, apakah aku
terlambat?” lanjut Affan.
Arin terdiam,
kemudiam ia tersenyum memandang Affan lekat. Akhirnya ia menyadari satu hal, bahwa cinta adalah buah manis
dari sebuah kesabaran.
Komentar
Posting Komentar